Dengan menulis aku bisa menjadi siapapun
Herzliche Wilkommen
Selamat Datang

Jumat, 24 Juni 2011

Asing di Tanahku Sendiri



Mataku seolah tak bisa terpejam, terbius dengan keindahan laut Flores yang biru nan jernih. Pesona kekayaan pulauku, yang baru bisa kupahami sekarang. Sembilan jam penyebrangan dari Sape NTB menuju Labuan Bajo NTT, terasa sangat sebentar. Mata dan hati ini tidak jenuh, menatap pulau-pulau yang nampak di sekitarku. Pulau – pulau kecil yang tersusun rapi, terlihat sangat tenang dan hijau dari kejauhan. Kini aku pulang ke rumahku, setelah beberapa saat mengais pengetahuan di ibukota. Kutarik nafas sedalam-dalamnya untuk menghirup udara segar warisan leluhurku yang mungkin sangat jarang kurasakan di Jakarta. Lega… itulah kesan pertama yang muncul saat aliran udara bersih pertama masuk ke paru-paruku.

Suasana feri peyebrangan cukup ramai. Yang menarik adalah kebanyakan dari mereka berambut pirang. Salah satunya duduk disampingku. Emeli, wanita berusia sekitar 26 tahun berkebangsaan Italia. Dia ingin menyelam. Wanita itu bilang, alam dibawah laut juga sangat indah. Baginya Flores adalah surganya laut. Aku tersenyum, entah apa yang ada dalam pikiranku, namun yang jelas aku ingin kembali kesana, menyelami lautan biru nan indah ini seperti waktu itu, ketika abah dengan semangatnya mengajari aku menyelam. Emeli tau segalanya tentang keindahan alamku. Dia yang terlihat sangat aktif menjelaskan kepada teman-temannya tentang keindahan Pulau Flores Dari Labuan hingga Alor. Dari Pulau Komodo hingga Danau Asmara. Belajar kebudayaan Eropa , tidak membuatku merasa heran pada keberanian seorang Emeli untuk melalang buana hingga ke tanahku, yang membuatku heran adalah kenapa aku tidak begitu tahu. Aku melewati pulau Komodo. Beberapa wisatawan asing turun ke perahu kecil. Mereka akan mengunjungi Pulau yang masuk nominasi tujuh keajaiban dunia namun tetap berada di urutan duah puluh delapan itu. Aku terus melanjutkan perjalanan bersama Emeli dan rombongannya. Beberapa saat kemudian aku disuguhkan pemandangan yang tak kalah menariknya. Sebuah pulau kecil, dihiasi buih-buih putih yang pecah ketika berbentur dengan batu karang. Pasir yang nampak lembut dari kejauhan, ombak mungil yang berirama. Emeli menggoyang tanganku, sembari berbisik “Vediamo, la prossima volta” sampai jumpa di lain waktu. Emeli dan rombongannya turun ke perahu yang lebih kecil. Mereka akan berkunjung ke pulau yang baru saja membius penglihatanku, pulau Bidadari. Nama yang pantas disandang pulau secantik itu.

Salah satu penumpang menyapaku. Seorang lelaki yang sudah cukup berumur. Bapak Anton. Dia tinggal di Labuan Bajo. Aku bertanya banyak hal tentang pulau Bidadari. Dia bilang itu pulau yang indah. Dengan bersemangatnya pak Anton bilang, Ernest dan istrinya berhasil mempromosikan pulau itu. “Ernest Lewan Dawsky” nama asing yang memang sudah kudengar waktu aku duduk di bangku tahun 2006, namun tidak begitu memahami apa yang dilakukanya karena aku terlalu asik bermain bersama teman-temanku. Bapak Anton melanjutkan. “ Nak, disana banyak dibangun hotel, para turis senang sekali berkunjung kesana.”

Obrolan hangat yang singkat namun cukup mendapat tempat di pikiranku. Salahkah jika aku berteriak “Mengapa harus Ernest dan Kathleen?” bukan Markus atau Maria anak tanah Flores. Salahkah jika aku marah pada Ernest yang telah menyumbangkan ide kreatifnya untuk mempercantik Bidadari yang kuacuhkan? Kemana saja diri ini, ketika bidadariku kebingungan didandani secara tiba-tiba? Kemana saja diri ini, ketika bidadari berteriak karena bata-bata merah menghujam tubuhnya? Aku terlalu sibuk bermain bersama teman-temanku, tenggelam dalam pesona teknologi yang selalu diperkanalkan zaman.

Tiba di Labuan Bajo seperti sudah berada di rumah walaupun sebenarnya aku masih harus melewati dua kabupaten lagi untuk tiba di rumah mama. Secangkir teh hangat memang pantas menemani kepenatan. Aku memilih ke kedai kecil di dekat pelabuhan. Jangan heran, isinya banyak bule, seorang pria berambut pirang tersenyum ramah padaku. Dialah Stephan pemuda berkebangsaan Jerman. Obrolanku bersamanya cukup panjang karena aku memang tertarik pada negerinya. Stephan mahasiswa salah satu universitas di Hamburg. Dia bilang dia tertarik untuk meneliti tentang pulau Flores dan kekayaan yang ada di dalamnya, tentang plankton….. ya apalah itu, aku tidak terlalu mengerti. Dari obrolanku bersamanya aku tahu banyak hal tentang Hamburg, dan ternyata dia juga sudah banyak tahu tentang Floresku. Meninggalkan mahasiswa Hamburg itu menyisakan keinginan untuk lebih mencitai pulauku, seperti Stephan dan Emeli yang begitu semangat menjelajahi tanahku. Penelitian, kata yang mungkin cukup akrab di telinga kami para mahasiswa. Namun dari obrolan-obrolan santai di kampus, aku dan teman-temanku lebih berharap bisa dapat kesempatan untuk meneliti di luar negeri, karena terkesan lebih keren. Padahal di negeri ini banyak potensi.

Muncul kecemasan akan kehilangan, karena nampaknya Emeli ataupun Stephan lebih tahu dan aku merasa seperti asing di tanahku sendiri. Tapi aku tak boleh takut. Aku masih muda dan masih punya waktu untuk mengembangkan ideku. Aku berharap program KKN mahasiswa yang ditawarkan beberapa kampus seperti almamaterku (Universitas Indonesia), bisa menjalankan program penyebaran mahasiswa ke daerah-daerah pelosok bukan hanya pulau – pulau di titik terluar Indonesia tetapi juga pulau –pulau yang SDMnya masih minim. Tidak menutup kemungkinan pulau-pulau kecil tak berpenghuni di bagian dalam Indonesiapun bisa dikuasai pihak asing, seperti secuil kenyataan pilu yang ada dalam catatan kecil perjalanan ini.

Depok 26 September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar