Kutulis cerita ini untuk sahabat terhebatku Ira Ndale dan semua eks pengungsi Timor Leste.
Imi ne la perna mesak. Kalian tidak pernah sendiri
Jam dinding di kamar Maya menunjukkan pukul 00.15 WIB. Matanya tak bisa terpejam. Rasa kantuk tak juga mampir menyapanya. Ia duduk di sudut kamar. Berlindung di bawah selimut dan memegang bantal erat-erat. Dinginnya lantai kamar tak membuat keringat halusnya jera untuk bercucuran. Korban kecelakaan yang berlumuran darah di jalan Margonda Raya masih menghantui matanya. Tak ada suara selain detak jarum jam, bunyi kipas angin, dan desahan nafas kenangan-kenangan lama yang berhembus memenuhi dinding kamar. Kenangan itu mendekat dan menari-nari di depan matanya. Bayangan Maliana terus menggoda, menggodanya untuk mengingat kepingan-kepingan kenangan yang hampir saja terlupakan.
Maliana adalah nama ibukota Kabupaten Bobonaro yang terletak di sebelah barat daya Kota Dili Timor Leste. Maya pernah menjalani sebagian masa kecil di kota cantik itu. Kenangan bersama keluarga dan sahabat muncul dengan jelas dimatanya. Memori yang lama ia pendam itu terus menari, berputar-putar di sekelilingnya, membuat ia tak berdaya menahan tangis. Kenangan yang membawanya melayang ke tahun 1999. Masa dimana Timor-Timur berpisah dari NKRI.
Saat itu usianya 9 tahun. Usia yang terlalu muda untuk memahami apa yang terjadi di sekitarnya. Tak ada orang dewasa yang berani memberikan penjelasan lebih, termasuk kedua orang tuanya. Ia dan teman-teman sekolahnya seperti orang bodoh yang siap mengikuti siapapun. Mereka tidak mengerti apa-apa, tetapi mereka dituntut untuk memahami semuanya. Mereka terbiasa dengan kekerasan. Tanpa kompromi semua itu singgah di meja makan sehari-hari. Air mata Maya terus mengalir dari kelopak matanya yang indah. Kenangan-kenangan itu terlalu dekat dengannya malam ini. Tanpa sadar hatinya berteriak dan memanggil teman-temannya Salvador, Petra, Votorino, Evi, Tina, Domingos, imi hotu iha nebe dimanakah kalian?“ Wajah sahabat-sahabat masa kecilnya itu menyapa dari sudut –sudut kamar.
Maya tak ingat kapan secara pasti kebahagiaan mereka mulai terenggut. SDN 1 Maliana saksi bisu perjalanan mereka. Ia hanya mengingat. mereka selalu diajak bertiarap, ketika dentuman-dentuman peluru memecah konsentrasi belajar dan keceriaan mereka. Ketika mereka sedang belajar, mereka tak pernah tahu apa yang terjadi di balik dinding sekolah. Bu Martha, guru Bahasa Indonesia, yang menurutnya paling sabar dan bijak selalu berkata „Ita atu halimar film deit, kita hanya sedang bermain film“. Itulah yang membuat mereka selalu menikmati semuanya tanpa pernah gemetar dan ketakutan. Ketika bel istirahat sekolah berbunyi, mereka berhamburan keluar kelas menuju sebuah lapangan hijau yang tidak jauh dari sekolah. Lapangan yang dikelilingi batu-batu besar untuk duduk, seperti deretan kursi stadion yang sangat indah. Maya, Petra, Salvador, Votorino, Evi, Tina dan Domingos selalu bersama. Bagi Maya hidup dan mengenali keenam sahabatnya ini adalah kesempatan terindah. Tak bisa tergantikan dengan apapun di dunia ini dan lapangan itu, sudut paling damai di Maliana, karena disana mereka dapat bermain dengan sepuas-puasnya.
Dari hari ke hari, kondisi kelas mereka semakin memprihatinkan. Satu persatu teman meninggalkan kelas. Maya ingat, dari jumlah 40 siswa, berkurang maksimal 5 orang setiap harinya. Hampir sebagian besar teman-temannya pindah ke daerah sekitar yang lebih aman seperti Atambua, Kupang, dan Flores. Mereka cemas dan tidak ingin bertahan di Maliana. Hingga suatu hari, Maya tak melihat Petra, Evi, dan Tina. Mereka diam-diam ikut mengungsi bersama keluarganya. Ia tak bisa menahan sedih, karena tidak mengetahui kemana ketiga sahabatnya pergi. Orang tuanya berusaha menenangkan dan bilang kalau mereka akan baik-baik saja di Maliana dan ia akan segera menemukan teman baru. Namun realitanya, teman Maya semakin berkurang. Bahkan sekolahnya diliburkan berminggu-minggu.
Salvador, Votorino, dan Dominggos adalah teman-temannya yang tersisa. Maya berasal dari Sikka Flores, berbeda dengan Salvador, Dominggos, dan Votorino yang berasal dari Timor Leste. Salvador bocah laki-laki hitam manis dengan rambut agak keriting itu menghibur Maya dengan lelucon-leluconnya yang konyol. Ia akan mengenakan topi serdadu dan mulai bertingkah seperti tentara yang gagah berani, karena cita-citanya menjadi tentara. Jika Maya tidak tertawa, ia akan mengambil ukulele dan menyanyikan sebuah lagu. Bukan lagu pop, dangdut, atau daerah yang dinyanyikannya. Tetapi ia akan menyanyikan lagu-lagu yang dikarangnya sendiri, yang memang ampuh membuat Maya tertawa. Tak ada beban di mata Salvador, meski situasi di sekeliling Maliana mulai memanas. Ia selalu bercerita tentang Jakarta. Ibu kota negara yang selalu ingin dikunjunginya. Votorino paling pintar di antara mereka semua. Ia selalu bilang laki-laki telah dikodratkan untuk lebih pandai dari perempuan, karena perempuan diciptakan dari rusuk lelaki. Maya tak pernah begitu setuju dengan pandangannya itu, tetapi tak ada waktu untuk membantah sahabatnya yang selalu menjadi bintang kelas. Cita-citanya menjadi Petani seperti ayahnya. Ia pernah bilang, menjadi petani itu sangat mulia, karena menyediakan bahan makanan untuk banyak orang. Maya tidak terlalui meyukai cita-cita itu. „o ne matenek hansa lakoi jadi mantri, agora ita se kurang mantri”. Kau sangat pandai Votorino,kenapa kau tidak berkeinginan menjadi Mantri. Sekarang kita masih kekurangan mantri. Votorino menjawab „ Hau nia apa osan lai ha, atu hang deit ami susa, cita-cita ne fo o deit, mungking o se jadi bidan kalo lae jadi guru“ Bapakku tak punya uang, untuk makan saja kami susah. cita-cita itu hanya untuk kau Maya, Kau mungkin bisa jadi bidan atau guru. Maya hanya tersenyum mendengar itu, ia telah terbiasa menyaksikan teman-temannya berjuang membantu kedua orang tuanya untuk bertahan hidup. Ia telah terbiasa berjalan ke hutan bersama teman-temannya untuk mencari kayu bakar. Ia pun telah terbiasa mendengar celotehan cita-cita sahabat-sahabatnya yang hanya menjadi petani, pedagang, nelayan, guru, dan tentara karena hanya pekerjaan-pekerjaan itulah yang mereka tahu. Dominggos paling gendut di antara mereka semua. Maya selalu mencubit pipinya kalau ia kalah bermain petak umpet. Maya dan Dominggos tinggal di kompleks yang sama.
Di suatu pagi. Maya tak ingat tanggal persisinya. Raya, Dominggos, Salvador, dan Votorino berjalan jauh menuju sumber mata air terdekat. Kondisi Maliana memang kekurangan air, sehingga mereka harus berjalan jauh untuk mengambilnya di sungai. Tiba di Sungai. Maya langsung menutup mulut. Ia ingin muntah. Sungai yang biasanya jernih telah menjadi keruh dan dua mayat lelaki dewasa mengapung di atasnya. Dominggos dan Votorino menarik Maya dan lari ketakutan. Salvador terkejut dan diam saja di tempatnya. „Salvador, o ha noin saida apa yang kau pikirkan salvador“. Raya berteriak „ha lai lalais ona“ cepatlah lari, Dominggus menambahkan. „Tauk pembunuh ne hare ita“ Jangan sampai pembunuhnya melihat kita. Votorino juga ikut berteriak.
Segerombolan anak kecil itu berlari sekuat tenaga menyusuri alang-alang menuju lapangan hijau di dekat sekolah dan mulai duduk melingkar di bebatuan.
„ita lebele ha noine tan sira ema bot“ Kita tidak boleh ingat ini, karena mereka hanya mencari orang besar“ Salvador memulai percakapan. „ iha rua gruppu pro kemerdekaan dan pro integrasi. Kalo ita atu merdeka ne, ita tengki dukung Pro kemerdekaan, kalo ita atu hili RI, ita tengki hili integrasi“ Ada dua kelompok, pro kemerdekaan dan pro integrasi. Jika kita ingin merdeka, kita dukung pro kemerdekaan, jika kita pilih tetap jadi Republik Indonesia, kita pilih integrasi. Ia melanjutkan. Dominggos menyeletuk, „o hili saida“ lantas apa yang kau pilih?.. „nene urusan ema bot, ita ne labariki la iha urusan, ita labarik ne ema la buka ida, ita ne pasti diak-diak deit“. Itu urusan orang dewasa, kita anak-anak tidak perlu ikut campur. Kita anak-anak tidak mungkin dicari. Kita akan baik-baik saja disini. Maya penasaran dengan penjelasan Salvador.
„Salvador o hate ne boat ne mai husi se?“ darimana kau tahu semuanya
„maya, o ne hate ne le buku deit. Ola rona ka ema-ema kolia iha markado ne?.Maya, kau hanya bisa membaca buku saja?. Apa kau tidak mendengarkan percakapan orang-orang di pasar?
„hau lakoi rona buat ida. Ema dehan Indonesia ne jajah ita, padahal Portugis ne mak jaja ita la os Indonesia“ Aku tidak mau mendengarkan semuanya, orang bilang Indonesia menjajah kita, tetapi Portugis yang menjajah kita bukan Indonesia. Maya menjelaskan.
„dia kona ita siar deit, ita ne tetap propinsi ke 33, siar deit ita ne la fahe malu ho Indonesia, Ita ngian Bandera ne ha nei san deit. Meang homotin“. Kita harus percaya, kita tetap propinsi ke 33, percaya jika kita tidak akan pernah berpisah dari Indonesia. Bendera kita tetap sama. Merah putih. Votorino yang dari tadi diam, mulai mengeluarkan suara.
Percakapan-percakapan singkat itu terjadi ketika mata mereka menangkap kenyataan yang selama ini mereka dengar dari kejauhan.
„ama sira pasti hirus kalau ita vila la lori be“ Ibu kita pasti marah, kita tak membawa air, Dominggos menambahkan.
„Ita hatete deit, kalau ita hare ema mate iha mota laran“ Ya sudah kita jujur saja, bahwa kita melihat mayat di sungai. Maya menimpali
„agora ita fila ona, si dauk ema bot sira baku malu“ Ayo kita pulang sekarang, sebelum orang-orang dewasa saling bertikai“ Salvador mengajak mereka pulang.
Sore hari sekitar pukul 16.30 WITA. Hari ini air di rumah Maya tersisa sedikit. Hanya cukup untuk minum. Persediaan beras tinggal sekarung. Ibu Maya menyuruh Maya dan adiknya membagi beras itu kedalam beberapa plastik. „lori vos ne iha votorino ngia uma, sira vos ho tu tona. La bele halu han usu modo iha sira. Diak-diak! Orsida ne tiu Rafael lao hamotu ho o. Bawa beras ke rumah Votorino, mereka tidak punya beras. Jangan lupa minta sayur untuk lauk kita. Hati-hati! Om Rafael akan menemanimu kesana.“
Rumah Maya tidak begitu jauh dari Polres Maliana. Hanya dipisahkan oleh lapangan Voli. Rumah Dominggospun begitu. Ia harus melewati beberapa gang kecil untuk sampai ke rumah Votorino. Keadaan Maliana saat itu memang serba kekurangan. Tak ada ruko yang buka. Semua orang mengungsi, meninggalkan rumah-rumah megah, dan rela banting uang untuk sampai di Atambua, kabupaten milik propinsi Nusa Tenggara Timur yang letaknya persis di sebelah kabupaten Bobonaro. Maya berpikir, jika mereka punya banyak uang dan kekuasaan, mereka tentunya akan dengan mudah pergi ke Atambua. Tetapi sepertinya itu susah. Orang-orang yang tersisa di Maliana hanyalah orang-orang yang punya uang pas-pasan, yang hidup dengan semua keterbatasan, yang rela makan kulit babi dan minum air pelepah pohon atau tidak makan sama sekali, serta orang-orang yang menunggu kepastian. Seperti apa akhir dari semua perselisihan ini. Pro integrasi atau pro kemerdekaan yang menang.
Om Rafael memegang tangan Maya dengan kuat. Sore itu sekitar pukul setengah lima waktu setempat. Dentuman senjata keras lagi-lagi memecah kesunyian Maliana. Om Rafael melepas tangan Maya dan lari meninggalkannya. Maya takut dan cemas. Orang-orang berlarian menuju arah polres. Ia tidak tahu apa-apa. Gadis kecil 9 tahun itu berlari mengikuti orang-orang dewasa yang panik.
Di Polres untuk pertama kalinya Maya melihat dua kubu oposisi bertemu. Pro integrasi dengan bendera merah putih dan pro kemerdekaan. Banyak orang berdiri dari kejauhan termasuk aparat polisi. Maya mendekat ke salah satu polisi. Ia merasa aman berada di samping Polisi.
„ alin ola bele besik, oha re o nonok deit“ Jangan mendekat dik, cukup lihat dan diam saja“ pak polisi itu bicara.
Maya semakin penasaran. Ia tak habis pikir. Aparat yang dibanggakannya itu bicara seperti itu. Maya menatap pak polisi itu dengan tatapan menuntut. Pak polisi membelai rambut ikalnya dan bilang „Ami ne ema servisu, ami nian bot sira sidauk haruka. Agora ne Maliana la os Indonesia tiona.“ Kami hanya bertugas. Pemimpin belum memerikan perintah. Maliana sekarang bukan Indonesia lagi.
„nusa apa? Ita la os Indonesia, hau tetap hakarak Indonesia. Apa pak? Kita bukan Indonesia lagi? Saya tetap ingin Indonesia.“
„ dia kona o nonok deit, aban ita sila hamotuk ba Atambua. Ho nia inan ho o nia apa mos tuir“ Kalau begitu diam saja, besok kita sama-sama ke Atambua bersama orang tuamu juga.
Maya berdiri diantara banyak orang. Ia melihat ke arah halaman polres dari kejauhan. Air matanya jatuh. Kata-kata Votorino tentang bendera kita pasti sama hilang bersama air mata yang keluar dari kedua kelopak matanya. Doa mereka tidak terkabulkan. Maliana mereka yang bisu kini telah menjadi milik orang lain.
Dari kejauhan, tiba-tiba muncul mobil kijang dan sejenis angkot berselimutkan bendera merah Putih yang bergerak dengan sangat cepat dan berhenti tepat di halaman polres. Beberapa orang menjauh. Ketika bendera diangkat mata Maya terbelalak, semua isi mobil itu senjata. Orang-orang mulai berlarian. Maya tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia memegang tangan pak polisi yang tampak tenang di sampingnya. Orang-orang yang menonton dari kejauhan juga hanya diam membisu seperti batu. Tak ada yang berbicara atau melerai. Mereka seperti tidak menyaksikan apa-apa.
Mata maya tak tahan. Mata gadis kecil 9 tahun yang lugu itu terus terpejam ketika parang pertama yang ditarik dari kijang ditebaskan ke tubuh seorang pria. Bunyi tembakan yang saling sahut menyahut disusul deru kaki berlarian dan tubuh berjatuhan. Teriakan-teriakan saling memaki dan menyalahkan. Kata yang paling jelas terdengar adalah „oin rua“ pengkhianat. Mata maya tak bisa terbuka. Ia tak kuat melihat darah dan tubuh-tubuh yang menggelepar sebelum sayap kematian menenangkan mereka. Hanya satu suara yang kemudian membuat matanya terbuka. Satu suara yang sangat dikenalinya. Suara merdu yang biasa menyanyikan lagu untuknya tatkala ia sedih. Suara teriakan Salvador. Bocah sembilan tahun yang memegang merah putih, sahabatnya yang paling yakin, mereka akan baik-baik saja di Maliana „la bele oho hau nia apa, la bele oho hau nia apa Jangan bunuh ayah saya“, sambil memeluk tubuh kokoh ayahnya. Dalam hitungan detik, Tuhan membiarkan semuanya terjadi. Kepalanya yang kecil tertebas bersama dada bidang ayahnya yang kokoh. Darah bercucuran, semua mata menitikan air mata namun tetap diam membisu. Maya tidak tahan, ia menggigit gigi-gigi mungilnya, tangannya melemah. Air mata bak banjir badang yang datang menyerbu. Ia berteriak sekuat yang ia bisa „Salvador la bele lao“ salvador jangan pergi. Suaranya melemah „ita nia bendera hanesan Bendera kita sama“. Maliana berlumuran darah dan anak perempuan 9 tahun itu tak sanggup melihatnya. Ia pun jatuh tak sadarkan diri.
Maya terbangun, hari sudah malam dan ia ada di pangkuan ayahnya. Ia juga merasakan tubuhnya terguncang-guncang dalam sebuah kotak hitam besar. Setelah cukup sadar, ia tahu bahwa ia sedang berada dalam Truk Brimob, bersama keluarganya dan keluarga-keluarga lain. Mereka akan meninggalkan Maliana dan bergerak menuju Atambua. Semua mata menatap Maya dengan iba. Wajahnya masih pucat, tubuhnya masih panas dan sesekali gemetar. Ibunya setia membelai rambut ikalnya. Untuk keluar dari Maliana, mereka harus melewati banyak pos penjagaan. Untung saja mereka mengendarai truk brimob, sehingga semua urusan agak lancar.
Sesampai di Atapupu (Perbatasan Atambua dan Bobonaro) mereka pun turun sejenak untuk menyayikan lagu Indonesia Raya bersama pengungsi-pengungsi lainnya. Maya tetap diam dan matanya masih membengkak. Ia melihat banyak orang di sekelilingnya yang nampak sangat tak terurus di dalam tenda-tenda pengungsian. Sedihnya bertambah. Ia mencoba mencari Dominggos dan Votorino, namun ia tak melihat mereka. Bayangan Salvador mengintai ketika ia melihat anak-anak bermain ukulele dan memegang bendera. Seketika itu juga rona mukanya berubah. Ia menjadi gadis yang sangat pemurung. Tak mau berbicara pada siapapun. Jika melihat darah ia akan lari ketakutan. Meskipun darah yang ia lihat hanya darah yang muncrat ketika jarum sulam tak sengaja menusuk jemarinya. Orang tuanya bingung. Mereka akhirnya menetap di salah salah satu kabupaten di pulau Flores.
Disana Maya menemukan suasana kedamaian yang tak ada bandingannya dengan Maliana. Meski ia memang masih murung, takut darah, dan gemetar. Maya kembali melanjutkan sekolahnya di Nusa Bunga, tetapi kenangan sekolah menyiksanya. Ia selalu mengingat SDN 1 Maliana, karena watak teman-teman barunya hampir sama. Ia tidak berkonsentrasi dan selalu merasa aneh, sehingga ia memilih untuk tidak sekolah. Orang tua dan kerabat selalu mendukung Maya untuk kembali menjadi gadis kecil yang ceria. Hingga suatu saat ayahnya bilang „Maya bumi Allah itu luas dan kita harus menjejakinya, ada kesempatan kita ketemu dan berpisah, ada kesempatan kita diuji. Allah tak pernah suka jika kita terus bersedih. Bukankah dulu kau mau jadi anak Indonesia? Sekarang kita berada di Indonesia, teman-temanmu menunggu kau untuk bangun Indonesia, Kata-kata sederhana yang dilontarkan ayahnya berpengaruh luar biasa. Maya bangkit dan melupakan semua yang dialaminya. Ia kembali ke sekolah karena ia merasa penting mengenali teman-temannya. Ia pun kembali menjadi gadis yang ceria.
Kini ia telah dewasa. Semua kenangan tentang Maliana, berusaha dikumpulkannya dalam sebuah album foto terakhir. Ia selalu berharap bisa tumbuh menjadi pemuda yang berguna, setidaknya untuk para pengungsi dan orang – orang yang tinggal di wilayah terpencil dan perbatasan negeri ini. Ia tak ingin anak-anak yang lain merasakan kekecewaannya, kehilangan sahabat dan tanah kelahiran tercinta.
Mohon maaf jika terjadi kesalahan dalam pengejaan kata. Semua terjadi karena keterbatasan penulis.
maaaf baru bisa singgah .hehehe
BalasHapusyang tidak pernah dipikirkan orang dewasa adalah ketika pertumpahan darah dan perebutan lahan atau apapun itu yang membuat orang mengungsi adalh apa yang dirasakan anak-anak. Merela tidak berbicara banyak tp sinar mata mereka menyiratkan hal2 yang menakutkan.
Tulisan yang menyentuh.. suka dengan caranya bertutur.... cerita-cerita yang menggugah kesadaran kita untuk sebuah kehidupan yang seharusnya begitu sederhana menjadi begitu pelik dan rumit kala kepentingan dan ego menyelinap diam-diam dan mematuki rasa kemanusiaan
BalasHapusIjin saya bagikan ya
BalasHapusia baktiar silahkan dibagikan :)
BalasHapus