Dengan menulis aku bisa menjadi siapapun
Herzliche Wilkommen
Selamat Datang

Senin, 27 Juni 2011

Pantaskah Permainan Tradisional Menjadi Sebuah Kenangan ?



Akhir-akhir ini, permainan tradisional menjadi jenis permainan yang sulit ditemukan. Anak-anak lebih memilih jenis-jenis permainan modern seperti playstation, gameboy, game online, dll. Hal ini tentunya disebabkan oleh perkembangan teknologi yang sangat pesat. Anak-anak lebih senang menghabiskan hari-hari mereka di depan layar televisi ataupun komputer. Mereka terbenam dalam fantasinya sendiri.
Menghilangnya permainan tradisional dari lingkungan anak Indonesia saat ini tidak boleh dianggap sepele. Fakta ini tentu sangat mengkhawatirkan, karena dalam permainan tradisional ada banyak manfaat yang bisa diambil. Permainan tradisional dapat melatih kreativitas anak, menumbuhkan jiwa sosial, menghadirkan kekompakan, dan melatih fisik anak. Jika dibandingkan dengan permainan modern, tentu kita akan melihat perbedaan yang sangat kontras. Untuk memainkan permainan modern, anak tidak membutuhkan orang lain, karena ia dapat memainkannya sendiri. Ini menciptakan jiwa-jiwa individualis yang hanya memikirkan dirinya sendiri di masa yang akan datang.
Benarkah permainan tradisional hanya menjadi sebuah kenangan?
Pertanyaan besar ini muncul, ketika aku melihat sebagian besar adik-adikku tidak mengenali permainan yang dulu kumainkan. Ada sebuah panggilan jiwa untuk kembali memainkan permainan-permainan itu bersama mereka. Namun waktu mereka yang padat dengan les tambahan, kondisi lahan perumahan yang sempit, dan kepraktisan gaya hidup mereka, menghalangi kami untuk bermain.
Anak-anak cenderung memilih permainan modern, karena mereka tak perlu repot-repot membuatnya. Sepintas ini bisa diterima sebagai sebuah alasan yang masuk akal, tetapi membiarkan anak-anak tenggelam dalam permainan modern merusak mental dan perkembangan jiwanya. Ia akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak mempedulikan orang lain.
Kini permainan tradisional hanya ditemukan di desa-desa terpencil. Di Kota-kota besar seperti Jakarta, permainan-permainan tersebut sulit ditemukan, semuanya tergantikan oleh permainan-permainan modern yang canggih. Pantaskah kita membiarkan hal ini terus terjadi. Jika tak pantas, marilah kita besama-sama mencari solusi yang tepat, agar adik-adik kita mengenali permainan bangsanya dan dapat mengembangkan rasa solidaritas yang kokoh dalam persahabatan mereka.

Jumat, 24 Juni 2011

Selamat Jalan

Kemarin kau disini….

Tersenyum dan tertawa disampingku

Bercerita tentang mimpi-mimpimu membangun Borneo.

Kemarin kau disini…..

melukis cita-citamu di langit negeri ini.

merajut harapan diantara bintang-bintang

terbang tinggi seperti garuda.

Kita sama-sama bertarung di tanah perantauan ini,

Kita sama-sama berikhtiar memajukan bangsa

Hari ini….

Satu kalimat yang keluar dari bibirku setelah tiga hari tak berjumpa kamu,

“Inallillahi wa Inaillaihi Rojiun”

Sang pemburu telah menembak sayap-sayap garudamu yang indah

kau pun terjatuh,terapung-apung di Ciliwung yang bisu, dan pergi untuk selamanya

Selamat jalan sahabat

Tenanglah disana….

Depok 7 Oktober 2010

Jangan Takut

Aku dengar tangisanmu tadi malam

Saat guncangan dan butir - butir kristal langit itu mengecup senjamu

Tangisan itu merambat melalui aliran udara

Perlahan dan pasti dia masuk ke telingaku

menggerakan air mata yang tertampung di pelupuk mata

Kak…

Siapkah kau bercerita, bila suatu hari aku bertanya tentang kesabaran

jika hari ini kudengar kau selalu menangis.

Siapkah kau mengajariku

semua yang kau dapat dari bencana ini.

Jika hari ini kau selalu mengeluh.

Kita hanyalah perantau yang jauh dari rumah.

Kita hanyalah pengais ilmu-ilmu yang tersembunyi.

Kita tidak boleh takut dan menyerah.

Keluhku pada Ibu Pertiwi

Mata, hati, dan pikiranku kaku.

Tak sanggup berimajinasi lagi

Bibirku beku

„Haruskah aku cemas menjadi anakmu?“

Terlalu kejam

Terlalu sadis

„Saudaraku kembali disiksa“

„Luntang lantung di negeri orang“

Ia tak bisa lagi berteriak membela diri

Mulutnya telah digunting

Oh…. kejamnya

Ibu pertiwiku yang anggun

Apakah ini bagian dari perjuangan?

Perjuangan kakak-kakakku Pahlawan Devisa

Bergulat dengan kejamnya pola pikir manusia beda budaya.

Demi mendapatkan sepiring nasi

Dia bukan perampok

Pekerjaannya mulia

Ibu pertiwiku yang cantik

Sakit rasanya harus berulang kali mendengar hal yang sama.

Lagi-lagi saudaraku dipermainkan

Harga diri saudaraku diinjak..

Dan mengapa kau hanya terdiam

Ibu pertiwiku yang gagah berani

Sadarkah jika kita selama ini terlalu lemah

Yang mendampingimu di belakang merah putih

hanya akan turut prihatin atas semua kejadian yang menginjak-injak martabat bangsa

Tanpa pembelaan yang memuaskan

Mungkinkah mereka terlupakan

Foto mereka yang lugu itu tertutup berkas-berkas kasus keren kaum Elit.

Seperti kajadian-kejadian sebelumnya.

Oh Ibu pertiwiku yang cantik

Betapa cemasnya aku manjadi anakmu.

Ada apa dengan Negeriku?

Aku merasa nyawaku tidak berarti.

Indonesia Akulah Jiwamu

Di tubuhmu bongkahan batu yang bisu
Terlelap mendengkur
bangkit dan tumbuh berbuah doa.

Aku anakmu

Kini kembali ke pangkuanmu

Aku peri kecil yang lahir dari tawa dan tangismu.


Setetes embun segarkanlah…
Sepercik hujan basahkanlah…
Secercah cahaya terangilah…

Menanggung kegigihan moyangku
Menanggung tangis semesta
Menanggung kecemasan dunia

Disini
Perkenankan aku berseru
“Indonesia engkaulah air mataku”

Bila kemarau berkepanjangan
Kubasahi kau dengan ketulusanku
Bila tenggorokanmu kering
kuteteskan pengorbananku

Diatas tanah peraduan
kumainkan pikiran dan perasaan
karena aku adalah peri kecil yang lahir dari tawa dan tangismu
Aku lari mengejar hari
Tak peduli badai yang menerjang
Aku terbang menggapai bulan.
Meski sayapku terkadang lelah
Ku tetap berusaha memetik satu bintang
Dari ranting pahlawanku yang kuat
Hingga di ujung cakrawala

Kuteriakan janji

“Indonesia akulah Jiwamu”

Potong Tanganku Tuhan



Kujanjikan kata-kata tak bermakna seolah menjadi bermakna seperti angin menguapkan air kemudian air itu menjadi hujan dan akan jatuh menyuburkan kuntum mawar yang rapuh. Ku lantukan senandung ketika kupuas tidur dalam gemerlap tahta, kekayaan, dan keegoisanku. Tangisan rakyatku tenggelam dalam kerja sama,investasi,pembangunan,dan keuntungan. Hak rakyatku kuambil karena aku penguasa. Rakyatku mencuri untuk sesuap kehidupan dan aku mengadilinya. Anak-anak terlantar, gizi buruk menyebar di negeriku. Negeri agraria yang kaya sumber makananan katanya. Aku tertawa dibelakang rakyatku, berharap mereka cepat mati dan penduduk negeriku berkurang. Kubangun perusahaan rokok agar rakyatku terus saja mengisap kematiannya, perlahan tapi pasti dan aku tak pusing lagi dengan ledakan jumlah penduduk. Kuciptakan berbagai kebijakan untuk mempertebal buku undang-undang dan aku melanggarnya sekali-kali jika kulupa.
Di gedung tinggi aku duduk memantau kerja sama yang merugikan rakyatku, melalang buana ke berbagai belahan duniaMu Tuhan. Berbagi bersama kaumku yang jenius dan pecinta dunia. Tangisan rakyatku yang lapar ditutup deru mesin garuda yang membawaku berjalan-jalan.
Kini aku di hadapanMu Tuhan. Berlutut mengakui dosa
Potong tanganku karena aku pemimpin yang tamak
Potong tanganku karena aku selalu mencuri hak mereka

Ku Masih Punya Cinta !



Diriku masih seperti kemarin menanti kepastian dalam hening, seperti bulan lalu, seperti tahun lalu namun kau tetap seperti itu tak mau bergeming dan berkompromi meluangkan waktu.
Jauh ataupun dekat kau sama saja.
Tak pernah berbasa basi, berbicara,ataupun menghubungiku.
entah mungkin aku harus pulang mengalah pada waktu
karena aku sosok semu dalam dirimu
Kini ku ingin berdiri di sini tanpamu, tanpa sisa segala sesuatu bersamamu
Ku ingin diam
mendiamkan sejuta masalah dan amarah
Ku tak patut lagi memindahkan hati menuju ujung kecewa
karena esok ku masih punya cinta

Depok 13 Februari 2010

Asing di Tanahku Sendiri



Mataku seolah tak bisa terpejam, terbius dengan keindahan laut Flores yang biru nan jernih. Pesona kekayaan pulauku, yang baru bisa kupahami sekarang. Sembilan jam penyebrangan dari Sape NTB menuju Labuan Bajo NTT, terasa sangat sebentar. Mata dan hati ini tidak jenuh, menatap pulau-pulau yang nampak di sekitarku. Pulau – pulau kecil yang tersusun rapi, terlihat sangat tenang dan hijau dari kejauhan. Kini aku pulang ke rumahku, setelah beberapa saat mengais pengetahuan di ibukota. Kutarik nafas sedalam-dalamnya untuk menghirup udara segar warisan leluhurku yang mungkin sangat jarang kurasakan di Jakarta. Lega… itulah kesan pertama yang muncul saat aliran udara bersih pertama masuk ke paru-paruku.

Suasana feri peyebrangan cukup ramai. Yang menarik adalah kebanyakan dari mereka berambut pirang. Salah satunya duduk disampingku. Emeli, wanita berusia sekitar 26 tahun berkebangsaan Italia. Dia ingin menyelam. Wanita itu bilang, alam dibawah laut juga sangat indah. Baginya Flores adalah surganya laut. Aku tersenyum, entah apa yang ada dalam pikiranku, namun yang jelas aku ingin kembali kesana, menyelami lautan biru nan indah ini seperti waktu itu, ketika abah dengan semangatnya mengajari aku menyelam. Emeli tau segalanya tentang keindahan alamku. Dia yang terlihat sangat aktif menjelaskan kepada teman-temannya tentang keindahan Pulau Flores Dari Labuan hingga Alor. Dari Pulau Komodo hingga Danau Asmara. Belajar kebudayaan Eropa , tidak membuatku merasa heran pada keberanian seorang Emeli untuk melalang buana hingga ke tanahku, yang membuatku heran adalah kenapa aku tidak begitu tahu. Aku melewati pulau Komodo. Beberapa wisatawan asing turun ke perahu kecil. Mereka akan mengunjungi Pulau yang masuk nominasi tujuh keajaiban dunia namun tetap berada di urutan duah puluh delapan itu. Aku terus melanjutkan perjalanan bersama Emeli dan rombongannya. Beberapa saat kemudian aku disuguhkan pemandangan yang tak kalah menariknya. Sebuah pulau kecil, dihiasi buih-buih putih yang pecah ketika berbentur dengan batu karang. Pasir yang nampak lembut dari kejauhan, ombak mungil yang berirama. Emeli menggoyang tanganku, sembari berbisik “Vediamo, la prossima volta” sampai jumpa di lain waktu. Emeli dan rombongannya turun ke perahu yang lebih kecil. Mereka akan berkunjung ke pulau yang baru saja membius penglihatanku, pulau Bidadari. Nama yang pantas disandang pulau secantik itu.

Salah satu penumpang menyapaku. Seorang lelaki yang sudah cukup berumur. Bapak Anton. Dia tinggal di Labuan Bajo. Aku bertanya banyak hal tentang pulau Bidadari. Dia bilang itu pulau yang indah. Dengan bersemangatnya pak Anton bilang, Ernest dan istrinya berhasil mempromosikan pulau itu. “Ernest Lewan Dawsky” nama asing yang memang sudah kudengar waktu aku duduk di bangku tahun 2006, namun tidak begitu memahami apa yang dilakukanya karena aku terlalu asik bermain bersama teman-temanku. Bapak Anton melanjutkan. “ Nak, disana banyak dibangun hotel, para turis senang sekali berkunjung kesana.”

Obrolan hangat yang singkat namun cukup mendapat tempat di pikiranku. Salahkah jika aku berteriak “Mengapa harus Ernest dan Kathleen?” bukan Markus atau Maria anak tanah Flores. Salahkah jika aku marah pada Ernest yang telah menyumbangkan ide kreatifnya untuk mempercantik Bidadari yang kuacuhkan? Kemana saja diri ini, ketika bidadariku kebingungan didandani secara tiba-tiba? Kemana saja diri ini, ketika bidadari berteriak karena bata-bata merah menghujam tubuhnya? Aku terlalu sibuk bermain bersama teman-temanku, tenggelam dalam pesona teknologi yang selalu diperkanalkan zaman.

Tiba di Labuan Bajo seperti sudah berada di rumah walaupun sebenarnya aku masih harus melewati dua kabupaten lagi untuk tiba di rumah mama. Secangkir teh hangat memang pantas menemani kepenatan. Aku memilih ke kedai kecil di dekat pelabuhan. Jangan heran, isinya banyak bule, seorang pria berambut pirang tersenyum ramah padaku. Dialah Stephan pemuda berkebangsaan Jerman. Obrolanku bersamanya cukup panjang karena aku memang tertarik pada negerinya. Stephan mahasiswa salah satu universitas di Hamburg. Dia bilang dia tertarik untuk meneliti tentang pulau Flores dan kekayaan yang ada di dalamnya, tentang plankton….. ya apalah itu, aku tidak terlalu mengerti. Dari obrolanku bersamanya aku tahu banyak hal tentang Hamburg, dan ternyata dia juga sudah banyak tahu tentang Floresku. Meninggalkan mahasiswa Hamburg itu menyisakan keinginan untuk lebih mencitai pulauku, seperti Stephan dan Emeli yang begitu semangat menjelajahi tanahku. Penelitian, kata yang mungkin cukup akrab di telinga kami para mahasiswa. Namun dari obrolan-obrolan santai di kampus, aku dan teman-temanku lebih berharap bisa dapat kesempatan untuk meneliti di luar negeri, karena terkesan lebih keren. Padahal di negeri ini banyak potensi.

Muncul kecemasan akan kehilangan, karena nampaknya Emeli ataupun Stephan lebih tahu dan aku merasa seperti asing di tanahku sendiri. Tapi aku tak boleh takut. Aku masih muda dan masih punya waktu untuk mengembangkan ideku. Aku berharap program KKN mahasiswa yang ditawarkan beberapa kampus seperti almamaterku (Universitas Indonesia), bisa menjalankan program penyebaran mahasiswa ke daerah-daerah pelosok bukan hanya pulau – pulau di titik terluar Indonesia tetapi juga pulau –pulau yang SDMnya masih minim. Tidak menutup kemungkinan pulau-pulau kecil tak berpenghuni di bagian dalam Indonesiapun bisa dikuasai pihak asing, seperti secuil kenyataan pilu yang ada dalam catatan kecil perjalanan ini.

Depok 26 September 2010

Seraut Wajah

Wajah bersih nan cantik itu perlahan mendekat,

terus mendekat ke tempat tidurku

Sunyi dan tenang

Wajah cantik itu, muncul dalam berjuta kepingan kenangan.

Memenuhi seluruh ruangan kamarku yang sempit

Menari – nari di kepalaku dan terus menebarkan senyum yang sangat mempesona.

Ingin ku peluk ia erat – erat

Mencium kakinya dan merengek manja di bawah lengan lembutnya

Kubangun dan meraih satu keping kenangan yang menari di depan mataku

Namun yang kudapat hanyalah tanganku sendiri

Kosong

Dan kenangan itupun menetes lewat derai air mata yang tak sanggup kubendung

Mama

Kau pernah bercerita bahwa kita seperti karang yang tetap tegar diterpa ombak

Aku yakin kau baik-baik saja

Karena keyakinanku adalah doa

Tetaplah tegar dan bersinar

Karena dirimu adalah mentari di ufuk timur kehidupanku

Seraut wajah cantik itu mendekat

Sangat dekat

dan kini akupun dapat mengecupnya.

Mama aku yakin dirimu baik-baik saja.







Depok. 11 Dezember 2010 Um 22.06 Uhr

Aku Tak Pernah Membenci Angin



Biarkan kudisini untuk menceritakan padamu sahabat

Perihal kehidupanku bersama angin

Biarkanlah aku bersamamu

Membisikan rahasia yang ingin kuceritakan

Akulah daun yang jatuh tadi pagi

Di antara kesegaran embun dan tidur lelapmu.

Akulah daun yang diterbangkan ke sudut kamarmu

Lewat cela jendela



Angin menghempaskan tubuh mungilku, ketika aku sedang asyik bercinta

Memisahkan aku dari ranting kekasihku

Menuntun perjalanan baruku

Menembus cakrawala indah penuh warna

Tuk bertemu kau sahabatku



Mentari terlalu indah untuk kutatap

Ketika aku sendiri kuhindari itu

Aku terus terbang mencari pijakan untuk tumbuh lagi.

Takan kubiarkan pesona mentari membakar tubuhku sebelum semuanya kudapatkan.

Aku daun yang ingin tetap tumbuh.

Angin tahu kapan ia harus mengakhiri perjalananku.

Aku tak pernah membencinya,

Aku terus menunggunya

untuk menemui anak-anakku



Ketika angin tak bisa menjemputku disini

Karena terhalang jendela kamarmu sahabat

Jatuhkan aku ke luar dan biarkan aku terbang

Mungkin aku akan dijatuhkan di atas taman ibumu

Dan menjadi pohon disana

Kamis, 23 Juni 2011

Alte Brücke in Heidelberg

merupakan Jembatan yang dibangun oleh pangeran Karl Theodor pada tahun 1786-1788. Dikenal dengan nama "Carl-Theodor Bridge". Warga heidelberg selalu menyebutnya dengan jembatan tua, karena konstruksinya dibuat dari batu pasir merak yang digunakan untuk mengganti kayu yang rusak akibat air pasang.
Disebelah utara jembatan terdapat empat patung yang melambangkan sungai paling penting di daerah ini yaitu "Rhein" (Rhine), "Neckar", "Mosel" dan "Donau. Di ujung selatan jembatan juga terdapat sebuah pintu besar yang dibangun pada abad ke -15. Ada sebuah patung yang sangat populer di sisi kanan menara yang menyerupai sebuah monyet.