Dengan menulis aku bisa menjadi siapapun
Herzliche Wilkommen
Selamat Datang

Jumat, 08 Juli 2011

Foto Terakhir dari Maliana


Kutulis cerita ini untuk sahabat terhebatku Ira Ndale dan semua eks pengungsi Timor Leste.
 Imi ne la perna mesak. Kalian tidak pernah sendiri


Jam dinding di kamar Maya menunjukkan pukul 00.15 WIB. Matanya tak bisa terpejam. Rasa kantuk tak juga mampir menyapanya. Ia duduk di sudut kamar. Berlindung di bawah selimut dan memegang bantal erat-erat. Dinginnya lantai kamar tak membuat keringat halusnya jera untuk bercucuran. Korban kecelakaan yang berlumuran darah di jalan Margonda Raya masih menghantui matanya. Tak ada suara selain detak jarum jam, bunyi kipas angin, dan desahan nafas kenangan-kenangan lama yang berhembus memenuhi dinding kamar. Kenangan itu mendekat dan menari-nari di depan matanya. Bayangan Maliana terus menggoda, menggodanya untuk mengingat kepingan-kepingan kenangan  yang hampir saja terlupakan.
Maliana adalah nama ibukota Kabupaten Bobonaro yang terletak di sebelah barat daya Kota Dili Timor Leste. Maya pernah menjalani sebagian masa kecil di kota cantik itu. Kenangan bersama keluarga dan sahabat muncul dengan jelas dimatanya. Memori yang lama ia pendam itu terus menari, berputar-putar di sekelilingnya, membuat ia tak berdaya menahan tangis. Kenangan yang membawanya melayang ke tahun 1999. Masa dimana Timor-Timur berpisah dari NKRI.
Saat itu usianya 9 tahun. Usia yang terlalu muda untuk memahami apa yang terjadi di sekitarnya. Tak ada orang dewasa yang berani memberikan penjelasan lebih, termasuk kedua orang tuanya. Ia dan teman-teman sekolahnya seperti orang bodoh yang siap mengikuti siapapun. Mereka tidak mengerti apa-apa, tetapi mereka dituntut untuk memahami semuanya. Mereka terbiasa dengan kekerasan. Tanpa kompromi semua itu singgah di meja makan sehari-hari. Air mata Maya terus mengalir dari kelopak matanya yang indah. Kenangan-kenangan itu terlalu dekat dengannya malam ini. Tanpa sadar hatinya berteriak dan memanggil teman-temannya  Salvador, Petra, Votorino, Evi, Tina, Domingos, imi hotu iha nebe dimanakah kalian?“ Wajah sahabat-sahabat masa kecilnya itu menyapa dari sudut –sudut kamar.
Maya tak ingat kapan secara pasti kebahagiaan mereka mulai terenggut. SDN 1 Maliana saksi bisu perjalanan mereka. Ia hanya mengingat. mereka selalu diajak bertiarap, ketika dentuman-dentuman peluru memecah konsentrasi belajar dan keceriaan mereka. Ketika mereka sedang belajar, mereka tak pernah tahu apa yang terjadi di balik dinding sekolah. Bu Martha, guru Bahasa Indonesia, yang menurutnya paling sabar dan bijak selalu berkata „Ita atu halimar film deit, kita hanya sedang bermain film“. Itulah yang membuat mereka selalu menikmati semuanya tanpa pernah gemetar dan ketakutan. Ketika bel istirahat sekolah berbunyi, mereka berhamburan keluar kelas menuju sebuah lapangan hijau yang tidak jauh dari sekolah. Lapangan yang dikelilingi batu-batu besar untuk duduk, seperti deretan kursi stadion yang sangat indah. Maya, Petra, Salvador, Votorino, Evi, Tina dan Domingos selalu bersama. Bagi Maya hidup dan mengenali keenam sahabatnya ini adalah kesempatan terindah. Tak bisa tergantikan dengan apapun di dunia ini dan lapangan itu, sudut paling damai di Maliana, karena disana mereka dapat bermain dengan sepuas-puasnya.
Dari hari ke hari, kondisi kelas mereka semakin memprihatinkan. Satu persatu teman meninggalkan kelas. Maya ingat, dari jumlah 40 siswa, berkurang maksimal 5 orang setiap harinya. Hampir sebagian besar teman-temannya pindah ke daerah sekitar yang lebih aman seperti Atambua, Kupang, dan Flores.  Mereka cemas dan tidak ingin bertahan di Maliana. Hingga suatu hari, Maya tak melihat Petra, Evi, dan Tina. Mereka diam-diam ikut mengungsi bersama keluarganya. Ia tak bisa menahan sedih, karena tidak mengetahui kemana ketiga sahabatnya pergi. Orang tuanya berusaha menenangkan dan bilang kalau mereka akan baik-baik saja di Maliana dan ia akan segera menemukan teman baru. Namun realitanya, teman Maya semakin berkurang. Bahkan sekolahnya diliburkan berminggu-minggu.
Salvador, Votorino, dan Dominggos adalah teman-temannya yang tersisa. Maya berasal dari Sikka Flores, berbeda dengan Salvador, Dominggos, dan Votorino yang berasal dari Timor Leste. Salvador bocah laki-laki hitam manis dengan rambut agak keriting itu menghibur Maya dengan lelucon-leluconnya yang konyol. Ia akan mengenakan topi serdadu dan mulai bertingkah seperti tentara yang gagah berani, karena cita-citanya menjadi tentara. Jika Maya tidak tertawa, ia akan mengambil ukulele dan menyanyikan sebuah lagu. Bukan lagu pop, dangdut, atau daerah yang dinyanyikannya. Tetapi ia akan menyanyikan lagu-lagu yang dikarangnya sendiri, yang memang ampuh membuat Maya tertawa. Tak ada beban di mata Salvador, meski situasi di sekeliling Maliana  mulai memanas. Ia selalu bercerita tentang Jakarta. Ibu kota negara yang selalu ingin dikunjunginya. Votorino paling pintar di antara mereka semua. Ia selalu bilang laki-laki telah dikodratkan untuk lebih pandai dari perempuan, karena perempuan diciptakan dari rusuk lelaki. Maya tak pernah begitu setuju dengan pandangannya itu, tetapi tak ada waktu untuk membantah sahabatnya yang selalu menjadi bintang kelas. Cita-citanya menjadi Petani seperti ayahnya. Ia pernah bilang, menjadi petani itu sangat mulia, karena menyediakan bahan makanan untuk banyak orang. Maya tidak terlalui meyukai cita-cita itu. „o ne matenek hansa lakoi jadi mantri, agora ita se kurang mantri. Kau sangat pandai Votorino,kenapa kau tidak berkeinginan menjadi Mantri. Sekarang kita masih kekurangan mantri. Votorino menjawab „ Hau nia apa osan lai ha, atu hang deit ami susa, cita-cita ne fo o deit, mungking o se jadi bidan kalo lae jadi guru“ Bapakku tak punya uang, untuk makan saja kami susah. cita-cita itu hanya untuk kau Maya, Kau mungkin bisa jadi bidan atau guru. Maya hanya tersenyum mendengar itu, ia telah terbiasa menyaksikan teman-temannya berjuang membantu kedua orang tuanya untuk bertahan hidup. Ia telah terbiasa berjalan ke hutan bersama teman-temannya untuk mencari kayu bakar. Ia pun telah terbiasa mendengar celotehan cita-cita sahabat-sahabatnya yang hanya menjadi petani, pedagang, nelayan, guru, dan tentara karena hanya pekerjaan-pekerjaan itulah yang mereka tahu.  Dominggos paling gendut di antara mereka semua. Maya selalu mencubit pipinya kalau ia kalah bermain petak umpet. Maya dan Dominggos tinggal di kompleks yang sama.
Di suatu pagi. Maya tak ingat tanggal persisinya. Raya, Dominggos, Salvador, dan Votorino berjalan jauh menuju sumber mata air terdekat. Kondisi Maliana memang kekurangan air, sehingga mereka harus berjalan jauh untuk mengambilnya di sungai. Tiba di Sungai. Maya langsung menutup mulut. Ia ingin muntah. Sungai yang biasanya jernih telah menjadi keruh dan dua mayat lelaki dewasa mengapung di atasnya.  Dominggos dan Votorino menarik Maya dan lari ketakutan. Salvador terkejut dan diam saja di tempatnya. Salvador, o ha noin saida apa yang kau pikirkan salvador“. Raya berteriak ha lai lalais ona“ cepatlah lari, Dominggus menambahkan. „Tauk pembunuh ne hare itaJangan sampai pembunuhnya melihat kita. Votorino juga ikut berteriak.  
Segerombolan anak kecil itu berlari sekuat tenaga menyusuri alang-alang menuju lapangan hijau di dekat sekolah dan mulai duduk melingkar di bebatuan.
 „ita lebele ha noine tan sira ema bot“ Kita tidak boleh ingat ini, karena mereka hanya mencari orang besar“ Salvador memulai percakapan. „ iha rua gruppu pro kemerdekaan dan pro integrasi. Kalo ita atu merdeka ne, ita tengki dukung Pro kemerdekaan, kalo ita atu hili RI, ita tengki hili integrasi“ Ada dua kelompok, pro kemerdekaan dan pro integrasi. Jika kita ingin merdeka, kita dukung pro kemerdekaan, jika kita pilih tetap jadi Republik Indonesia, kita pilih integrasi. Ia melanjutkan. Dominggos menyeletuk, „o hili saida lantas apa yang kau pilih?.. nene urusan ema bot, ita ne labariki la iha urusan, ita labarik ne ema la buka ida, ita ne pasti diak-diak deit“. Itu urusan orang dewasa, kita anak-anak tidak perlu ikut campur. Kita anak-anak tidak mungkin dicari. Kita akan baik-baik saja disini. Maya penasaran dengan penjelasan Salvador.
 „Salvador o hate ne boat ne mai husi se?“ darimana kau tahu semuanya  
maya, o ne hate ne le buku deit. Ola rona ka ema-ema kolia iha markado ne?.Maya, kau hanya bisa membaca buku saja?. Apa kau tidak mendengarkan percakapan orang-orang di pasar?
hau lakoi rona buat ida. Ema dehan Indonesia ne jajah ita, padahal Portugis ne mak jaja ita la os Indonesia“ Aku tidak mau mendengarkan semuanya, orang bilang Indonesia menjajah kita, tetapi Portugis yang menjajah kita bukan Indonesia. Maya menjelaskan.
dia kona ita siar deit, ita ne tetap propinsi ke 33, siar deit ita ne la fahe malu ho Indonesia, Ita ngian Bandera ne ha nei san deit. Meang homotin“. Kita harus percaya, kita tetap propinsi ke 33, percaya jika kita tidak akan pernah berpisah dari Indonesia. Bendera kita tetap sama. Merah putih. Votorino yang dari tadi diam, mulai mengeluarkan suara.
Percakapan-percakapan singkat itu terjadi ketika mata mereka menangkap kenyataan yang selama ini mereka dengar dari kejauhan.
ama sira pasti hirus kalau ita vila la lori be“ Ibu kita pasti marah, kita tak membawa air, Dominggos menambahkan.
Ita hatete deit, kalau ita hare ema mate iha mota laran“ Ya sudah kita jujur saja, bahwa kita melihat mayat di sungai. Maya menimpali
agora ita fila ona, si dauk ema bot sira baku malu“ Ayo kita pulang sekarang, sebelum orang-orang dewasa saling bertikai“ Salvador mengajak mereka pulang.
Sore hari sekitar pukul 16.30 WITA. Hari ini air di rumah Maya tersisa sedikit. Hanya cukup untuk minum. Persediaan beras tinggal sekarung.  Ibu Maya menyuruh Maya dan adiknya membagi beras itu kedalam beberapa plastik. „lori vos ne iha votorino ngia uma, sira vos ho tu tona. La bele halu han usu modo iha sira. Diak-diak! Orsida ne tiu Rafael lao hamotu ho o.  Bawa beras ke rumah Votorino, mereka tidak punya beras. Jangan lupa minta sayur untuk lauk kita. Hati-hati! Om Rafael akan menemanimu kesana.“
Rumah Maya tidak begitu jauh dari Polres Maliana. Hanya dipisahkan oleh lapangan Voli. Rumah Dominggospun begitu. Ia harus melewati beberapa gang kecil untuk sampai ke rumah Votorino. Keadaan Maliana saat itu memang serba kekurangan. Tak ada ruko yang buka. Semua orang mengungsi, meninggalkan rumah-rumah megah, dan rela banting uang untuk sampai di Atambua, kabupaten milik propinsi Nusa Tenggara Timur yang letaknya persis di sebelah kabupaten Bobonaro. Maya berpikir, jika mereka punya banyak uang dan kekuasaan, mereka tentunya akan dengan mudah pergi ke Atambua. Tetapi sepertinya itu susah. Orang-orang yang tersisa di Maliana hanyalah orang-orang yang punya uang pas-pasan, yang hidup dengan semua keterbatasan, yang rela makan kulit babi dan minum air pelepah pohon atau tidak makan sama sekali, serta orang-orang yang menunggu kepastian. Seperti apa akhir dari semua perselisihan ini. Pro integrasi atau pro kemerdekaan yang menang.
Om Rafael memegang tangan Maya dengan kuat.  Sore itu sekitar pukul setengah lima waktu setempat. Dentuman senjata keras lagi-lagi memecah kesunyian Maliana. Om Rafael melepas tangan Maya dan lari meninggalkannya. Maya takut dan cemas. Orang-orang berlarian menuju arah polres. Ia tidak tahu apa-apa. Gadis kecil 9 tahun itu berlari mengikuti orang-orang dewasa yang panik.
Di Polres untuk pertama kalinya Maya melihat dua kubu oposisi bertemu. Pro integrasi dengan bendera merah putih dan pro kemerdekaan. Banyak orang berdiri dari kejauhan termasuk aparat polisi. Maya mendekat ke salah satu polisi. Ia merasa aman berada di samping Polisi.
alin ola bele besik, oha re o nonok deit“ Jangan mendekat dik, cukup lihat dan diam saja“   pak polisi itu bicara.
Maya semakin penasaran. Ia tak habis pikir. Aparat yang dibanggakannya itu bicara seperti itu. Maya menatap pak polisi itu dengan tatapan menuntut. Pak polisi membelai rambut ikalnya dan bilang „Ami ne ema servisu, ami nian bot sira sidauk haruka. Agora ne Maliana la os Indonesia tiona.“ Kami hanya bertugas. Pemimpin belum memerikan perintah. Maliana sekarang bukan Indonesia lagi.
„nusa apa? Ita la os Indonesia, hau tetap hakarak Indonesia. Apa pak? Kita bukan Indonesia lagi? Saya tetap ingin Indonesia.“
dia kona o nonok deit, aban ita sila hamotuk ba Atambua. Ho nia inan ho o nia apa mos tuir“ Kalau begitu diam saja, besok kita sama-sama ke Atambua bersama orang tuamu juga.
Maya berdiri diantara banyak orang. Ia melihat ke arah halaman polres dari kejauhan. Air matanya jatuh. Kata-kata Votorino tentang bendera kita pasti sama hilang bersama air mata yang keluar dari kedua kelopak matanya. Doa mereka tidak terkabulkan. Maliana mereka yang bisu kini telah menjadi milik orang lain.
Dari kejauhan, tiba-tiba muncul mobil kijang dan sejenis angkot berselimutkan bendera merah Putih yang bergerak dengan sangat cepat dan berhenti tepat di halaman polres. Beberapa orang menjauh. Ketika bendera diangkat mata Maya terbelalak, semua isi mobil itu senjata. Orang-orang mulai berlarian. Maya tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia memegang tangan pak polisi yang tampak tenang di sampingnya. Orang-orang yang menonton dari kejauhan juga hanya diam membisu seperti batu. Tak ada yang berbicara atau melerai. Mereka seperti tidak menyaksikan apa-apa.
Mata maya tak tahan. Mata gadis kecil 9 tahun yang lugu itu terus terpejam ketika parang pertama yang ditarik dari kijang ditebaskan ke tubuh seorang pria. Bunyi tembakan yang saling sahut menyahut disusul deru kaki berlarian dan tubuh berjatuhan. Teriakan-teriakan saling memaki dan menyalahkan. Kata yang paling jelas terdengar adalah  „oin rua“ pengkhianat. Mata maya tak bisa terbuka. Ia tak kuat melihat darah dan tubuh-tubuh yang menggelepar sebelum sayap kematian menenangkan mereka. Hanya satu suara yang kemudian membuat matanya terbuka. Satu suara yang sangat dikenalinya. Suara merdu yang biasa menyanyikan lagu untuknya tatkala ia sedih. Suara teriakan Salvador. Bocah sembilan tahun yang memegang merah putih, sahabatnya yang paling yakin, mereka akan baik-baik saja di Maliana „la bele oho hau nia apa, la bele oho hau nia apa Jangan bunuh ayah saya“, sambil memeluk tubuh kokoh ayahnya. Dalam hitungan detik, Tuhan membiarkan semuanya terjadi. Kepalanya yang kecil tertebas bersama dada bidang ayahnya yang kokoh. Darah bercucuran, semua mata menitikan air mata namun tetap diam membisu. Maya tidak tahan, ia menggigit gigi-gigi mungilnya, tangannya melemah. Air mata bak banjir badang yang datang menyerbu. Ia berteriak sekuat yang ia bisa „Salvador la bele lao“ salvador jangan pergi. Suaranya melemah „ita nia bendera hanesan Bendera kita sama“. Maliana berlumuran darah dan anak perempuan 9 tahun itu tak sanggup melihatnya. Ia pun jatuh tak sadarkan diri.
             Maya terbangun, hari sudah malam dan ia ada di pangkuan ayahnya. Ia juga merasakan tubuhnya terguncang-guncang dalam sebuah kotak hitam besar. Setelah cukup sadar, ia tahu bahwa ia sedang berada dalam Truk Brimob, bersama keluarganya dan keluarga-keluarga lain. Mereka akan meninggalkan Maliana dan bergerak menuju Atambua. Semua mata menatap Maya dengan iba. Wajahnya masih pucat, tubuhnya masih panas dan sesekali gemetar. Ibunya setia membelai rambut ikalnya. Untuk keluar dari Maliana, mereka harus melewati banyak pos penjagaan. Untung saja mereka mengendarai truk brimob, sehingga semua urusan agak lancar.
            Sesampai di Atapupu (Perbatasan Atambua dan Bobonaro) mereka pun turun sejenak untuk menyayikan lagu Indonesia Raya bersama pengungsi-pengungsi lainnya. Maya tetap diam dan matanya masih membengkak. Ia melihat banyak orang di sekelilingnya yang nampak sangat tak terurus di dalam tenda-tenda pengungsian. Sedihnya bertambah. Ia mencoba mencari Dominggos dan Votorino, namun ia tak melihat mereka. Bayangan Salvador mengintai ketika ia melihat anak-anak bermain ukulele dan memegang bendera. Seketika itu juga rona mukanya berubah. Ia menjadi gadis yang sangat pemurung. Tak mau berbicara pada siapapun. Jika melihat darah ia akan lari ketakutan. Meskipun darah yang ia lihat hanya darah yang muncrat ketika jarum sulam tak sengaja menusuk jemarinya. Orang tuanya bingung. Mereka akhirnya menetap di  salah salah satu kabupaten di pulau Flores.
            Disana Maya menemukan suasana kedamaian yang tak ada bandingannya dengan Maliana. Meski ia memang masih murung, takut darah, dan gemetar. Maya kembali melanjutkan sekolahnya di Nusa Bunga, tetapi kenangan sekolah menyiksanya. Ia selalu mengingat SDN 1 Maliana, karena watak teman-teman barunya hampir sama. Ia tidak berkonsentrasi dan selalu merasa aneh, sehingga ia memilih untuk tidak sekolah. Orang tua dan kerabat selalu mendukung Maya untuk kembali menjadi gadis kecil yang ceria. Hingga suatu saat ayahnya bilang „Maya bumi Allah itu luas dan kita harus menjejakinya, ada kesempatan kita ketemu dan berpisah, ada kesempatan kita diuji. Allah tak pernah suka jika kita terus bersedih. Bukankah dulu kau mau jadi anak Indonesia? Sekarang kita berada di Indonesia, teman-temanmu menunggu kau untuk bangun Indonesia, Kata-kata sederhana yang dilontarkan ayahnya berpengaruh luar biasa. Maya bangkit dan melupakan semua yang dialaminya. Ia kembali ke sekolah karena ia merasa penting mengenali teman-temannya. Ia pun kembali menjadi gadis yang ceria. 
            Kini ia telah dewasa. Semua kenangan tentang Maliana, berusaha dikumpulkannya dalam sebuah album foto terakhir. Ia selalu berharap bisa tumbuh menjadi pemuda yang berguna, setidaknya untuk para pengungsi dan orang – orang yang tinggal di wilayah terpencil dan perbatasan negeri ini. Ia tak ingin anak-anak yang lain merasakan kekecewaannya, kehilangan sahabat dan tanah kelahiran tercinta.


Mohon maaf jika terjadi kesalahan dalam pengejaan kata. Semua terjadi karena keterbatasan penulis.

Jumat, 01 Juli 2011

Yang terlupakan



Di antara beribu anugerah yang kau dapatkan
Aku terselip dalam kesibukanmu.
kehadiranku selalu melahirkan pilihan
Diam, maju, atau terjatuh
kadang kau melupakanku,
namun aku tak peduli itu.
Aku tetap berjalan meski kau terus saja melupakanku
Aku ingin kau tahu,
aku tak akan pernah kembali.
Gunakanlah aku selagi aku masih bersamamu
Jangan lupakan aku, karena akulah kesempatanmu.
Jika kau diam aku akan terus berjalan.
Jika kau mengikuti, aku akan berlari
Karena aku adalah waktu…
Yang selalu mengintaimu,
Menemanimu, bahkan mencuri sebagian hidupmu…

Senin, 27 Juni 2011

Pantaskah Permainan Tradisional Menjadi Sebuah Kenangan ?



Akhir-akhir ini, permainan tradisional menjadi jenis permainan yang sulit ditemukan. Anak-anak lebih memilih jenis-jenis permainan modern seperti playstation, gameboy, game online, dll. Hal ini tentunya disebabkan oleh perkembangan teknologi yang sangat pesat. Anak-anak lebih senang menghabiskan hari-hari mereka di depan layar televisi ataupun komputer. Mereka terbenam dalam fantasinya sendiri.
Menghilangnya permainan tradisional dari lingkungan anak Indonesia saat ini tidak boleh dianggap sepele. Fakta ini tentu sangat mengkhawatirkan, karena dalam permainan tradisional ada banyak manfaat yang bisa diambil. Permainan tradisional dapat melatih kreativitas anak, menumbuhkan jiwa sosial, menghadirkan kekompakan, dan melatih fisik anak. Jika dibandingkan dengan permainan modern, tentu kita akan melihat perbedaan yang sangat kontras. Untuk memainkan permainan modern, anak tidak membutuhkan orang lain, karena ia dapat memainkannya sendiri. Ini menciptakan jiwa-jiwa individualis yang hanya memikirkan dirinya sendiri di masa yang akan datang.
Benarkah permainan tradisional hanya menjadi sebuah kenangan?
Pertanyaan besar ini muncul, ketika aku melihat sebagian besar adik-adikku tidak mengenali permainan yang dulu kumainkan. Ada sebuah panggilan jiwa untuk kembali memainkan permainan-permainan itu bersama mereka. Namun waktu mereka yang padat dengan les tambahan, kondisi lahan perumahan yang sempit, dan kepraktisan gaya hidup mereka, menghalangi kami untuk bermain.
Anak-anak cenderung memilih permainan modern, karena mereka tak perlu repot-repot membuatnya. Sepintas ini bisa diterima sebagai sebuah alasan yang masuk akal, tetapi membiarkan anak-anak tenggelam dalam permainan modern merusak mental dan perkembangan jiwanya. Ia akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak mempedulikan orang lain.
Kini permainan tradisional hanya ditemukan di desa-desa terpencil. Di Kota-kota besar seperti Jakarta, permainan-permainan tersebut sulit ditemukan, semuanya tergantikan oleh permainan-permainan modern yang canggih. Pantaskah kita membiarkan hal ini terus terjadi. Jika tak pantas, marilah kita besama-sama mencari solusi yang tepat, agar adik-adik kita mengenali permainan bangsanya dan dapat mengembangkan rasa solidaritas yang kokoh dalam persahabatan mereka.

Jumat, 24 Juni 2011

Selamat Jalan

Kemarin kau disini….

Tersenyum dan tertawa disampingku

Bercerita tentang mimpi-mimpimu membangun Borneo.

Kemarin kau disini…..

melukis cita-citamu di langit negeri ini.

merajut harapan diantara bintang-bintang

terbang tinggi seperti garuda.

Kita sama-sama bertarung di tanah perantauan ini,

Kita sama-sama berikhtiar memajukan bangsa

Hari ini….

Satu kalimat yang keluar dari bibirku setelah tiga hari tak berjumpa kamu,

“Inallillahi wa Inaillaihi Rojiun”

Sang pemburu telah menembak sayap-sayap garudamu yang indah

kau pun terjatuh,terapung-apung di Ciliwung yang bisu, dan pergi untuk selamanya

Selamat jalan sahabat

Tenanglah disana….

Depok 7 Oktober 2010

Jangan Takut

Aku dengar tangisanmu tadi malam

Saat guncangan dan butir - butir kristal langit itu mengecup senjamu

Tangisan itu merambat melalui aliran udara

Perlahan dan pasti dia masuk ke telingaku

menggerakan air mata yang tertampung di pelupuk mata

Kak…

Siapkah kau bercerita, bila suatu hari aku bertanya tentang kesabaran

jika hari ini kudengar kau selalu menangis.

Siapkah kau mengajariku

semua yang kau dapat dari bencana ini.

Jika hari ini kau selalu mengeluh.

Kita hanyalah perantau yang jauh dari rumah.

Kita hanyalah pengais ilmu-ilmu yang tersembunyi.

Kita tidak boleh takut dan menyerah.

Keluhku pada Ibu Pertiwi

Mata, hati, dan pikiranku kaku.

Tak sanggup berimajinasi lagi

Bibirku beku

„Haruskah aku cemas menjadi anakmu?“

Terlalu kejam

Terlalu sadis

„Saudaraku kembali disiksa“

„Luntang lantung di negeri orang“

Ia tak bisa lagi berteriak membela diri

Mulutnya telah digunting

Oh…. kejamnya

Ibu pertiwiku yang anggun

Apakah ini bagian dari perjuangan?

Perjuangan kakak-kakakku Pahlawan Devisa

Bergulat dengan kejamnya pola pikir manusia beda budaya.

Demi mendapatkan sepiring nasi

Dia bukan perampok

Pekerjaannya mulia

Ibu pertiwiku yang cantik

Sakit rasanya harus berulang kali mendengar hal yang sama.

Lagi-lagi saudaraku dipermainkan

Harga diri saudaraku diinjak..

Dan mengapa kau hanya terdiam

Ibu pertiwiku yang gagah berani

Sadarkah jika kita selama ini terlalu lemah

Yang mendampingimu di belakang merah putih

hanya akan turut prihatin atas semua kejadian yang menginjak-injak martabat bangsa

Tanpa pembelaan yang memuaskan

Mungkinkah mereka terlupakan

Foto mereka yang lugu itu tertutup berkas-berkas kasus keren kaum Elit.

Seperti kajadian-kejadian sebelumnya.

Oh Ibu pertiwiku yang cantik

Betapa cemasnya aku manjadi anakmu.

Ada apa dengan Negeriku?

Aku merasa nyawaku tidak berarti.

Indonesia Akulah Jiwamu

Di tubuhmu bongkahan batu yang bisu
Terlelap mendengkur
bangkit dan tumbuh berbuah doa.

Aku anakmu

Kini kembali ke pangkuanmu

Aku peri kecil yang lahir dari tawa dan tangismu.


Setetes embun segarkanlah…
Sepercik hujan basahkanlah…
Secercah cahaya terangilah…

Menanggung kegigihan moyangku
Menanggung tangis semesta
Menanggung kecemasan dunia

Disini
Perkenankan aku berseru
“Indonesia engkaulah air mataku”

Bila kemarau berkepanjangan
Kubasahi kau dengan ketulusanku
Bila tenggorokanmu kering
kuteteskan pengorbananku

Diatas tanah peraduan
kumainkan pikiran dan perasaan
karena aku adalah peri kecil yang lahir dari tawa dan tangismu
Aku lari mengejar hari
Tak peduli badai yang menerjang
Aku terbang menggapai bulan.
Meski sayapku terkadang lelah
Ku tetap berusaha memetik satu bintang
Dari ranting pahlawanku yang kuat
Hingga di ujung cakrawala

Kuteriakan janji

“Indonesia akulah Jiwamu”

Potong Tanganku Tuhan



Kujanjikan kata-kata tak bermakna seolah menjadi bermakna seperti angin menguapkan air kemudian air itu menjadi hujan dan akan jatuh menyuburkan kuntum mawar yang rapuh. Ku lantukan senandung ketika kupuas tidur dalam gemerlap tahta, kekayaan, dan keegoisanku. Tangisan rakyatku tenggelam dalam kerja sama,investasi,pembangunan,dan keuntungan. Hak rakyatku kuambil karena aku penguasa. Rakyatku mencuri untuk sesuap kehidupan dan aku mengadilinya. Anak-anak terlantar, gizi buruk menyebar di negeriku. Negeri agraria yang kaya sumber makananan katanya. Aku tertawa dibelakang rakyatku, berharap mereka cepat mati dan penduduk negeriku berkurang. Kubangun perusahaan rokok agar rakyatku terus saja mengisap kematiannya, perlahan tapi pasti dan aku tak pusing lagi dengan ledakan jumlah penduduk. Kuciptakan berbagai kebijakan untuk mempertebal buku undang-undang dan aku melanggarnya sekali-kali jika kulupa.
Di gedung tinggi aku duduk memantau kerja sama yang merugikan rakyatku, melalang buana ke berbagai belahan duniaMu Tuhan. Berbagi bersama kaumku yang jenius dan pecinta dunia. Tangisan rakyatku yang lapar ditutup deru mesin garuda yang membawaku berjalan-jalan.
Kini aku di hadapanMu Tuhan. Berlutut mengakui dosa
Potong tanganku karena aku pemimpin yang tamak
Potong tanganku karena aku selalu mencuri hak mereka

Ku Masih Punya Cinta !



Diriku masih seperti kemarin menanti kepastian dalam hening, seperti bulan lalu, seperti tahun lalu namun kau tetap seperti itu tak mau bergeming dan berkompromi meluangkan waktu.
Jauh ataupun dekat kau sama saja.
Tak pernah berbasa basi, berbicara,ataupun menghubungiku.
entah mungkin aku harus pulang mengalah pada waktu
karena aku sosok semu dalam dirimu
Kini ku ingin berdiri di sini tanpamu, tanpa sisa segala sesuatu bersamamu
Ku ingin diam
mendiamkan sejuta masalah dan amarah
Ku tak patut lagi memindahkan hati menuju ujung kecewa
karena esok ku masih punya cinta

Depok 13 Februari 2010

Asing di Tanahku Sendiri



Mataku seolah tak bisa terpejam, terbius dengan keindahan laut Flores yang biru nan jernih. Pesona kekayaan pulauku, yang baru bisa kupahami sekarang. Sembilan jam penyebrangan dari Sape NTB menuju Labuan Bajo NTT, terasa sangat sebentar. Mata dan hati ini tidak jenuh, menatap pulau-pulau yang nampak di sekitarku. Pulau – pulau kecil yang tersusun rapi, terlihat sangat tenang dan hijau dari kejauhan. Kini aku pulang ke rumahku, setelah beberapa saat mengais pengetahuan di ibukota. Kutarik nafas sedalam-dalamnya untuk menghirup udara segar warisan leluhurku yang mungkin sangat jarang kurasakan di Jakarta. Lega… itulah kesan pertama yang muncul saat aliran udara bersih pertama masuk ke paru-paruku.

Suasana feri peyebrangan cukup ramai. Yang menarik adalah kebanyakan dari mereka berambut pirang. Salah satunya duduk disampingku. Emeli, wanita berusia sekitar 26 tahun berkebangsaan Italia. Dia ingin menyelam. Wanita itu bilang, alam dibawah laut juga sangat indah. Baginya Flores adalah surganya laut. Aku tersenyum, entah apa yang ada dalam pikiranku, namun yang jelas aku ingin kembali kesana, menyelami lautan biru nan indah ini seperti waktu itu, ketika abah dengan semangatnya mengajari aku menyelam. Emeli tau segalanya tentang keindahan alamku. Dia yang terlihat sangat aktif menjelaskan kepada teman-temannya tentang keindahan Pulau Flores Dari Labuan hingga Alor. Dari Pulau Komodo hingga Danau Asmara. Belajar kebudayaan Eropa , tidak membuatku merasa heran pada keberanian seorang Emeli untuk melalang buana hingga ke tanahku, yang membuatku heran adalah kenapa aku tidak begitu tahu. Aku melewati pulau Komodo. Beberapa wisatawan asing turun ke perahu kecil. Mereka akan mengunjungi Pulau yang masuk nominasi tujuh keajaiban dunia namun tetap berada di urutan duah puluh delapan itu. Aku terus melanjutkan perjalanan bersama Emeli dan rombongannya. Beberapa saat kemudian aku disuguhkan pemandangan yang tak kalah menariknya. Sebuah pulau kecil, dihiasi buih-buih putih yang pecah ketika berbentur dengan batu karang. Pasir yang nampak lembut dari kejauhan, ombak mungil yang berirama. Emeli menggoyang tanganku, sembari berbisik “Vediamo, la prossima volta” sampai jumpa di lain waktu. Emeli dan rombongannya turun ke perahu yang lebih kecil. Mereka akan berkunjung ke pulau yang baru saja membius penglihatanku, pulau Bidadari. Nama yang pantas disandang pulau secantik itu.

Salah satu penumpang menyapaku. Seorang lelaki yang sudah cukup berumur. Bapak Anton. Dia tinggal di Labuan Bajo. Aku bertanya banyak hal tentang pulau Bidadari. Dia bilang itu pulau yang indah. Dengan bersemangatnya pak Anton bilang, Ernest dan istrinya berhasil mempromosikan pulau itu. “Ernest Lewan Dawsky” nama asing yang memang sudah kudengar waktu aku duduk di bangku tahun 2006, namun tidak begitu memahami apa yang dilakukanya karena aku terlalu asik bermain bersama teman-temanku. Bapak Anton melanjutkan. “ Nak, disana banyak dibangun hotel, para turis senang sekali berkunjung kesana.”

Obrolan hangat yang singkat namun cukup mendapat tempat di pikiranku. Salahkah jika aku berteriak “Mengapa harus Ernest dan Kathleen?” bukan Markus atau Maria anak tanah Flores. Salahkah jika aku marah pada Ernest yang telah menyumbangkan ide kreatifnya untuk mempercantik Bidadari yang kuacuhkan? Kemana saja diri ini, ketika bidadariku kebingungan didandani secara tiba-tiba? Kemana saja diri ini, ketika bidadari berteriak karena bata-bata merah menghujam tubuhnya? Aku terlalu sibuk bermain bersama teman-temanku, tenggelam dalam pesona teknologi yang selalu diperkanalkan zaman.

Tiba di Labuan Bajo seperti sudah berada di rumah walaupun sebenarnya aku masih harus melewati dua kabupaten lagi untuk tiba di rumah mama. Secangkir teh hangat memang pantas menemani kepenatan. Aku memilih ke kedai kecil di dekat pelabuhan. Jangan heran, isinya banyak bule, seorang pria berambut pirang tersenyum ramah padaku. Dialah Stephan pemuda berkebangsaan Jerman. Obrolanku bersamanya cukup panjang karena aku memang tertarik pada negerinya. Stephan mahasiswa salah satu universitas di Hamburg. Dia bilang dia tertarik untuk meneliti tentang pulau Flores dan kekayaan yang ada di dalamnya, tentang plankton….. ya apalah itu, aku tidak terlalu mengerti. Dari obrolanku bersamanya aku tahu banyak hal tentang Hamburg, dan ternyata dia juga sudah banyak tahu tentang Floresku. Meninggalkan mahasiswa Hamburg itu menyisakan keinginan untuk lebih mencitai pulauku, seperti Stephan dan Emeli yang begitu semangat menjelajahi tanahku. Penelitian, kata yang mungkin cukup akrab di telinga kami para mahasiswa. Namun dari obrolan-obrolan santai di kampus, aku dan teman-temanku lebih berharap bisa dapat kesempatan untuk meneliti di luar negeri, karena terkesan lebih keren. Padahal di negeri ini banyak potensi.

Muncul kecemasan akan kehilangan, karena nampaknya Emeli ataupun Stephan lebih tahu dan aku merasa seperti asing di tanahku sendiri. Tapi aku tak boleh takut. Aku masih muda dan masih punya waktu untuk mengembangkan ideku. Aku berharap program KKN mahasiswa yang ditawarkan beberapa kampus seperti almamaterku (Universitas Indonesia), bisa menjalankan program penyebaran mahasiswa ke daerah-daerah pelosok bukan hanya pulau – pulau di titik terluar Indonesia tetapi juga pulau –pulau yang SDMnya masih minim. Tidak menutup kemungkinan pulau-pulau kecil tak berpenghuni di bagian dalam Indonesiapun bisa dikuasai pihak asing, seperti secuil kenyataan pilu yang ada dalam catatan kecil perjalanan ini.

Depok 26 September 2010

Seraut Wajah

Wajah bersih nan cantik itu perlahan mendekat,

terus mendekat ke tempat tidurku

Sunyi dan tenang

Wajah cantik itu, muncul dalam berjuta kepingan kenangan.

Memenuhi seluruh ruangan kamarku yang sempit

Menari – nari di kepalaku dan terus menebarkan senyum yang sangat mempesona.

Ingin ku peluk ia erat – erat

Mencium kakinya dan merengek manja di bawah lengan lembutnya

Kubangun dan meraih satu keping kenangan yang menari di depan mataku

Namun yang kudapat hanyalah tanganku sendiri

Kosong

Dan kenangan itupun menetes lewat derai air mata yang tak sanggup kubendung

Mama

Kau pernah bercerita bahwa kita seperti karang yang tetap tegar diterpa ombak

Aku yakin kau baik-baik saja

Karena keyakinanku adalah doa

Tetaplah tegar dan bersinar

Karena dirimu adalah mentari di ufuk timur kehidupanku

Seraut wajah cantik itu mendekat

Sangat dekat

dan kini akupun dapat mengecupnya.

Mama aku yakin dirimu baik-baik saja.







Depok. 11 Dezember 2010 Um 22.06 Uhr

Aku Tak Pernah Membenci Angin



Biarkan kudisini untuk menceritakan padamu sahabat

Perihal kehidupanku bersama angin

Biarkanlah aku bersamamu

Membisikan rahasia yang ingin kuceritakan

Akulah daun yang jatuh tadi pagi

Di antara kesegaran embun dan tidur lelapmu.

Akulah daun yang diterbangkan ke sudut kamarmu

Lewat cela jendela



Angin menghempaskan tubuh mungilku, ketika aku sedang asyik bercinta

Memisahkan aku dari ranting kekasihku

Menuntun perjalanan baruku

Menembus cakrawala indah penuh warna

Tuk bertemu kau sahabatku



Mentari terlalu indah untuk kutatap

Ketika aku sendiri kuhindari itu

Aku terus terbang mencari pijakan untuk tumbuh lagi.

Takan kubiarkan pesona mentari membakar tubuhku sebelum semuanya kudapatkan.

Aku daun yang ingin tetap tumbuh.

Angin tahu kapan ia harus mengakhiri perjalananku.

Aku tak pernah membencinya,

Aku terus menunggunya

untuk menemui anak-anakku



Ketika angin tak bisa menjemputku disini

Karena terhalang jendela kamarmu sahabat

Jatuhkan aku ke luar dan biarkan aku terbang

Mungkin aku akan dijatuhkan di atas taman ibumu

Dan menjadi pohon disana

Kamis, 23 Juni 2011

Alte Brücke in Heidelberg

merupakan Jembatan yang dibangun oleh pangeran Karl Theodor pada tahun 1786-1788. Dikenal dengan nama "Carl-Theodor Bridge". Warga heidelberg selalu menyebutnya dengan jembatan tua, karena konstruksinya dibuat dari batu pasir merak yang digunakan untuk mengganti kayu yang rusak akibat air pasang.
Disebelah utara jembatan terdapat empat patung yang melambangkan sungai paling penting di daerah ini yaitu "Rhein" (Rhine), "Neckar", "Mosel" dan "Donau. Di ujung selatan jembatan juga terdapat sebuah pintu besar yang dibangun pada abad ke -15. Ada sebuah patung yang sangat populer di sisi kanan menara yang menyerupai sebuah monyet.